Contoh Kasus CyberCrime
Kebutuhan akan
teknologi Jaringan Komputer semakin meningkat. Selain sebagai media penyedia
informasi, melalui Internet pula kegiatan komunitas komersial menjadi bagian
terbesar, dan terpesat pertumbuhannya serta menembus berbagai batas negara.
Bahkan melalui jaringan ini kegiatan pasar di dunia bisa diketahui selama 24
jam. Melalui dunia internet atau disebut juga cyberspace, apapun dapat
dilakukan. Segi positif dari dunia maya ini tentu saja menambah trend
perkembangan teknologi dunia dengan segala bentuk kreatifitas manusia. Namun
dampak negatif pun tidak bisa dihindari. Tatkala pornografi marak di media
Internet, masyarakat pun tak bisa berbuat banyak.
Seiring dengan
perkembangan teknologi Internet, menyebabkan munculnya kejahatan yang disebut
dengan “CyberCrime” atau kejahatan melalui jaringan Internet.
Munculnya beberapa kasus “CyberCrime” di Indonesia, seperti pencurian kartu
kredit, hacking beberapa situs, menyadap transmisi data orang lain, misalnya
email, dan memanipulasi data dengan cara menyiapkan perintah yang tidak
dikehendaki ke dalam programmer komputer. Sehingga dalam kejahatan komputer
dimungkinkan adanya delik formil dan delik materil. Delik formil adalah
perbuatan seseorang yang memasuki komputer orang lain tanpa ijin, sedangkan
delik materil adalah perbuatan yang menimbulkan akibat kerugian bagi orang lain
(berdasarkan makalah Pengamanan Aplikasi Komputer Dalam Sistem Perbankan dan
Aspek Penyelidikan dan Tindak Pidana). Adanya CyberCrime telah menjadi ancaman
stabilitas, sehingga pemerintah sulit mengimbangi teknik kejahatan yang dilakukan
dengan teknologi komputer, khususnya jaringan internet dan intranet.
Mengacu pada kasus –
kasus CyberCrime yang tercatat banyakk terjadi oleh National Consumer League
(NCL) dari Amerika yang cepat atau lambat menular ke Indonesia, sebagai berikut
:
1. Penipuan Lelang On-line
a. Cirinya harga
sangat rendah (hingga sering sulit dipercayai) untuk produk – produk yang
yang diminati,
penjual tidak menyediakan nomor telepon, tidak ada respon terhadap per -
tanyaan melalui
email, menjanjikan produk yang sedang tidak tersedia.
b. Resiko Terburuk
adalah pemenang lelang mengirimkan cek atau uang, dan tidak memperoleh
produk atau berbeda
dengan produk yang diiklankan dan diinginkan.
c. Teknik Pengamanan
yang disarankan adalah menggunakan agen penampungan pembayaran
(escrow accounts
services) seperti www.escrow.com dengan biaya sekitar 5% dari harga
produk. Agen ini akan
menyimpan uang Pembeli terlebih dahulu dan mengirimkannya ke Pen-
jual hanya setelah
ada konfirmasi dari Pembeli bahwa barang telah diterima dalam kondisi
yang memuaskan.
2. Penipuan Saham On-line
a. Cirinya tiba –
tiba Saham Perusahaan meroket tanpa info pendukung yang cukup.
b. Resiko Terburuk
adalah tidak ada nilai riil yang mendekati harga saham tersebut, kehilangan
seluruh jumlah
investasi dengan sedikit atau tanpa kesempatan untuk menutup kerugian yang
terjadi.
3. Penipuan Pemasaran
Berjenjang On-line
a. Berciri mencari
keuntungan dari merekrut anggota, menjual produk atau layanan secara fiktif.
b. Resiko Terburuk
adalah ternyata 98% dari investor yang gagal.
c. Teknik Pengamanan
yang disarankan adalah jika menerima junk mail dengan janji yang bom-
bastis, lupakan saja
dan hapuslah pesan itu.
4. Penipuan Kartu
Kredit (kini sudah menular di Indonesia)
a. Berciri,
terjadinya biaya misterius pada tagihan kartu kredit untuk produk atau layanan
Internet yang tidak
pernah dipesan oleh kita.
b. Resiko Terburuk
adalah korban bisa perlu waktu yang lama untuk melunasinya.
c. Teknik Pengamanan
yang disarankan antara lain gunakan mata uang Beenz untuk transaksi
online, atau jasa Escrow, atau jasa Transfer Antar Bank, atau
jasa Kirim Uang Western
Union, atau pilih
hanya situs – situs terkemuka saja yang telah menggunakan Payment Security
seperti VeriSign.
Untuk menindak
lanjuti CyberCrime tentu saja diperlukan CyberLaw (Undang – undang khusus dunia
Cyber/Internet). Selama ini landasan hukum CyberCrime yang di Indonesia
menggunakan KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya dikategorikan sebagai
kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan bisa berakibat sangat fatal.
Indonesia dibandingkan dengan USA, Singapura, bahkan Malaysia memang cukup
ketinggalan dalam masalah CyberLaw ini. Contohnya Singapura telah memiliki The
Electronic Act 1998 (UU tentang transaksi secara elektronik), serta Electronic
Communication Privacy Act (ECPA), kemudian AS mempunyai Communication
Assistance For Law Enforcement Act dan Telecommunication Service 1996.
Faktor lain yang
menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam menerapkan CyberLaw ini adalah
adanya ke-strikean sikap pemerintah terhadap media massa yang ternyata
cukup membawa pengaruh bagi perkembangan CyberLaw di Indonesia. Sikap
pemerintah yang memandang minor terhadap perkembangan internal saat ini, telah
cukup memberikan dampak negatif terhadap berlakunya CyberLaw di Indonesia. Kita
lihat saja saat ini, apabila pemerintah menemukan CyberCrime di Indonesia, maka
mereka “terpaksa” mengkaitkan CyberCrime tersebut dengan hukum yang ada, sebut
saja KUHP, yang ternyata bukanlah hukum yang pantas untuk sebuah kejahatan yang
dilakukan di CyberSpace. Akhirnya pemerintah, dalam hal ini POLRI, sampai saat ini
ujung – ujungnya lari ke CyberLaw Internasional yang notabene berasal dari AS.
Berdasarkan sikap
pemerintah diatas, menurut RM. Roy Suryo, pada waktu dulu selalu saja
menganaktirikan Informasi yang berasal dari Internet. Bagi pemerintah, internet
tersebut lebih banyak memberikan mudharat dari pada manfaatnya. Sehingga, image
internet itu sendiri di masyarakat lebih terasosi sebagai media pornografi.
Padahal di negara – negara maju, sebut saja USA, Singapura, dan Malaysia,
mereka telah dapat memposisikan internet sebagai salah satu pilar demokrasi di
negaranya, bahkan untuk Malaysia dan Singapura, mereka benar – benar
memanfaatkan internet sebagai konsep Visi Infrastruktur Teknologi mereka.
Meskipun demikian, Indonesia ternyata juga memiliki konsep yang serupa dengan
hal yang disebut diatas, yaitu Nusantara 21, akan tetapi muncul kerancuan dan
kebingungan masyarakat terhadap kontradiksi sikap pemerintah tersebut, sehingga
masyarakat menjadi tidak percaya atau ragu – ragu terhadap fasilitas yang
terdapat di internet. Hal ini merupakan faktor tambahan kenapa Indonesia cukup
ketinggalan dalam menerapkan CyberLaw. Adanya masa kekosongan CyberLaw ini di
Indonesia, tentu saja membuat para hacker merasa leluasa untuk bertindak
semaunya di CyberSpace, untuk mengantisipasi tindakan tersebut, saat ini para
pakar teknologi kita seperti RM. Roy Suryo dan Onno W. Purbo bekerja sama
dengan berbagai pihak, baik dari pemerinta maupun swasta, membuat rancangan
CyberLaw. Mengenai rancangan CyberLaw ini, mengingat bahwa karakter CyberSpace
selalu berubah cepat dan bersifat global, sehingga bentuk CyberCrime dimasa
depan sangat sulit diramalkan. RM. Roy Suryo berpendapat sejak dulu bahwa sejak
dulu piranti hukum selalu ketinggalan dengan teknologinya, sehingga dalam
CyberLaw ini nantinya akan terdapat beberapa pasal yang bersifat terbuka,
artinya selain pasal – pasal tersebut bisa diamandemen, juga dpat dianalogikan
terhadap hal – hal yang bersifat global.
Landasan Hukum
CyberCrime di Indonesia, adalah KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya
dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan oleh
CyberCrime bisa berakibat sangat fatal. Beberapa indikator penyalahgunaan
sarana dan prasarana di Internet, antara lain :
1. Menjamurnya warnet
hampir setiap propinsi di tanah air yang dapat digunakan sebagai fasilitas
untuk melakukan
tindak kejahatan CyberCrime, disebabkan tidak tertibnnya sistem administrasi
dan penggunaan
Internet Protocol/IP Dinamis yang sangat bervariatif.
2. ISP (Internet
Service Provider) yang belum mencabut nomor telepon pemanggil yang meng -
gunakan Internet.
3. LAN (Local
Area Network) yang mengakses Internet secara bersamaan (sharing),
namun
tidak mencatat dalam
bentuk log file aktifitas dari masing – masing client jaringan.
4. Akses Internet menggunakan
pulsa premium, dimana untuk melakukan akses ke Internet, tidak
perlu tercatat
sebagai pelanggan sebuah ISP.
Berbicara mengenai
tindak kejahatan (Crime), tidak terlepas dari lima faktor yang terkait, antara
lain karena adanya pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi
sosial atas kejahatan, dan hukum. Berdasarkan beberapa pustaka, sebagian besar
menyebutkan bahwa pelaku CyberCrime adalah para remaja yang berasal dari
keluarga baik – baik, bahkan berotak encer. Hukum positif di Indonesia masih
bersifat “lex loci delicti” yang mencakup wilayah, barang bukti, tempat atau
fisik kejadian, serta tindakan fisik yang terjadi. Padahal kondisi pelanggaran
yang mungkin terjadi di CyberSpace dapat dikatakan sangat bertentangan dengan
hukum positif yang ada tersebut.
Dalam CyberCrime,
pelaku tampaknya memiliki keunikan tersendiri, secara klasik kejahatan terbagi
dua : Blue Collar Crime dan White Collar Crime. Pelaku Blue Collar Crime
biasanya dideskripsikan memiliki stereotip, seperti dari kelas social bawah,
kurang terdidik, berpenghasilan rendah, dsb. Sedangkan White Collar Crime, para
pelaku digambarkan sebaliknya. Mereka memiliki penghasilan yang tinggi,
berpendidikan, dsb. Untuk pelaku CyberCrime, pembagian teoritis demikian
tampaknya kurang mengena lagi. Karena dipacu oleh perkembangan teknologi yang
pesat, telah menghasilkan komunitas yang lebih kompleks. Dampak dari kehidupan
yang semakin kompleks, telah memperlebar celah – celah kriminalitas, maka Polri
harus sedini mungkin berperan secara aktif sebagai anggota masyarakat global
Cyberspace. CyberPolice merupakan polisi yang dilatih dan ditugaskan untuk
menangani kasus – kasus di dalam segala tindakan kriminal yang dilakukan di
dunia maya CyberSpace. Andaikata CyberPolice tidak segera diwujudkan, maka
semua kejahatan yang timbul di dunia CyberSpace tidak dapat dijangkau oleh
Polri. Beberapa kasus penting yang pernah ditangani Polri dibidang CyberCrime
adalah :
1. Cyber Smuggling,
adalah laporan pengaduan dari US Custom (Pabean AS) adanya tindak pe -
nyelundupan via
internet yang dilakukan oleh beberapa orang Indonesia, dimana oknum – oknum
tersebut telah
mendapat keuntungan dengan melakukan Webhosting gambar – gambar porno di
beberapa perusahaan
Webhosting yanga ada di Amerika Serikat.
2. Pemalsuan Kartu
Kredit, adalah laporan pengaduan dari warga negara Jepang dan Perancis
tentang tindak
pemalsuan kartu kredit yang mereka miliki untuk keperluan transaksi di
Internet.
3. Hacking Situs,
adalah hacking beberpa situs, termasuk situs POLRI, yang pelakunya di
identifikasikan ada
di wilayah RI.
Sulitnya menciptakan
peraturan – peraturan di CyberSpace, khususnya membuat CyberCrime Law, adalah
disebabkan perubahan – perubahan radikal yang dibawa oleh revolusi teknologi
informasi yang membalikkan paradigma – paradigma. Untuk membuat ketentuan hukum
yang memadai di dunia maya. Tampaknya harus terpaksa rela menunggu revolusi
mulai reda kiranya penting untuk belajar tentang bagaimana dahulu teknologi –
teknologi massal mengawali kematangannya.
Teknologi informasi
dalam beberapa waktu yang akan datang tampaknya akan terus berubah dengan cepat
untuk menuju tingkat kemapanannya sendiri. Selama dalam proses ini, masyarakat
dunia maya sepertinya akan mampu menjadi masyarakat yang dapat melakukan
pengaturan sendiri (self regulation). Kendati demikian, karena dampak
CyberSpace sangat besar bagi kehidupan secara keseluruhan, campur tangan negara
– negara yang sangat diperlukan, khusussnya dalam merancang CyberCrime Law.